Berikut 5 masalah dan analisinya :
1. Masyarakat etnik Indonesia tidak mampu memanfaatkan dialog dengan kebudayaan barat. Kebanggaan akan diri sendiri yang kemudian mengungkung dan mengurung, sehingga memunculkan sikap tertutup, tidak egaliter dan tidak demokratis. Gejala ini berlaku secara umum, kecuali beberapa suku seperti masyarakat Minangkabau.
Analisa terhadap masalah tersebut adalah perbedaan pendapat saya di bagian “Gejala ini berlaku secara umum, kecuali beberapa suku seperti masyarakat Minangkabau” itu tidak benar, mengapa? Karena kenyataannya sekarang banyak suku di Indonesia tidak sesuai dengan masalah diatas yang mengartikan tidak lain bahwa “Masyarakat etnik Indonesia tidak mampu memanfaatkan dialog dengan kebudayaan barat. Kebanggaan akan diri sendiri yang kemudian mengungkung dan mengurung, sehingga memunculkan sikap tertutup, tidak egaliter dan tidak demokratis” itu tidak terbukti di suku yang dominannya sering dikunjungi wisatawan (pelancong) baik mancanegara ataupun domestik. Contoh di Bali, suku-suku disana sudah terbiasa sejak zaman dahulu saling bertenggang rasa dan toleransi terhadap budaya yang masuk ke daerahnya, bahkan suku-suku disana bisa membuat budaya bangsa kita memancanegara dengan seni-seninya, dan seni yang paling terkenal adalah seni tarinya.
Kebanggaan akan diri sendiri yang kemudian mengungkung dan mengurung, sehingga memunculkan sikap tertutup, tidak egaliter dan tidak demokratis itu terjadi ketika sektor pariwisata kita belum optimal menjadi salah satu pendapatan negara dan pekerjaan masyarakat setempat. Sekarang pemerintah bersinergi dengan LSM setempat untuk mengembangkan kebudayaannya dengan cara mewariskan budaya yang dimiliki suku tersebut dan mendemokannya ke khalayak luas melalu (pemerintah) Kemenbupar agar senantiasa budayanya tersebut diakui dan menjadi cirri khasnya daerah dan suku tersebut. Kembali ke pertanyaannya, sikap yang harus diterapkan bangsa ini adalah memberi masukan, pendidikan dan terutama sosialisasi secara personal dari pemerintah/LSM (yang berkaitan dengan budaya) langsung kebawah (topik tujuannya yaitu suku-suku yang masih dimasalahkan dalam masalah ini). Lalu untuk mendukung tersebut digunakan cara keluar yang dilakukan pemerintah yaitu dengan pembelajaran ke masyarakat luas tentang budaya barat dan globalisasi sekarang untuk mewawaskan tentang bagaimana agar budaya kita tetap eksistensi dan bersaing dengan budaya luar.
2. Kebanggaan berlebihan terhadap budaya sendiri sehingga menimbulkan kecenderungan, meremehkan dan menganggap etnik lain sebagai pesaing (kecemburuan budaya). Misalnya: sikap tidak mau kalah orang Minang terhadap orang Jawa. Hal ini akan menjadi penghalang bagi dialog antar budaya.
Analisi terhadap masalah ini adalah sebagai berikut :
Masalah budaya yang digambarkan di masalah tersebut adalah berkaitan dengan budaya lokal yang berbentrok dengan budaya lokal lainnya dan masih dalam satu payung bangsa Indonesia. Contoh lain selain orang Minang terhadap orang Jawa adalah Orang Madura dengan Orang Kalimantan dan Agama Islam terhadap Agama Kristen di daerah Poso. Beberapa kasus tersebut memang didasari rasa cinta yang berlebih terhadap budaya sendiri, memang bagus untuk menjaga eksistensi budaya sendiri tetapi dapat memunculkan rasa ketidakharmoniasan dalam berSARA (Suku, Agama, Ras) dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan rasa Pancasila.
Konflik yang terjadi dalam masalah tersebut sering kali timbul dari hal yang biasa dan menjadi besar ketika sudah lama ada, maka dari itu tahap pertama yang harus dilakukan untuk mencegah dan bahkan menghilangkan masalah tersebut adalah dengan cara mensosialisasikan dengan benar dan mendalam terhadap siapapun yang ingin pergi ke suatu daerah yang keadaan daerah itu memang berbeda dengan daerah asalnya. Lalu tahap berikutnya dengan memberi pelajaran yang jelas (menyangkut ketatakramaan, dan kewarganegaraan) ke setiap suku-suku yang ada agar suku-suku tersebut dapat menumbuhkan rasa toleransi beragama, berkehidupan dan berkepribadain terhadap budaya yang masuk dari luar. Suatu ketika jika konflik itu sudah terjadi, bagaimana bersikapnya? Dengan cara tindakan bermusyawarah, mengapa? Karena musyawarah dapat membuat keadaan menjadi tenang dan akhirnya dapat memecahkan masalah yang timbul diantara kedua suku tersebut, lalu siapakah yang menengahkan itu? Pemerintah dan LSM(yang berkaitan dengan budaya) menjadi tonggak utama untuk menengahkan itu, mereka dijadikan itu karena memang tugas mereka menjaga kestabilan di masyarakat dalam konteks budaya. Dialog antarbudaya terjadi jika suatu suku yang berkomunikasi dengan suku lainnya tidak mengalami permasalahan dan berkehidupan harmonis, maka sikap diatas dapat dilakukan agar dialog antarbudaya tetap terjaga dan jika terjadi masalah dapat diselesaikan dengan baik.
3. Sikap imperatif budaya negara kebangsaan telah mengakibatkan pergeseran budaya yang jauh. Contoh dari hal ini, bahasa nasional yang menjadi sangat penting mulai mendesak mundur bahasa-bahasa daerah.
Analisisnya mengenai penggunaan bahasa, lebih jelasnya sebagai berikut :
Pandangan terhadap masalah ini berbeda-beda, tetapi saya lebih memilih menyeimbangkan bahasa nasional dan bahasa daerah yang menjadi pionir pemersatu bangsa. Namun dilihat dari bahasa daerah yang di desak mundur oleh bahasa nasional memang sudah nyata itu ada karena rasa nasionalisme bangsa Indonesia dan juga pergerakan teknologi pengetahuan yang semakin kompleks di masyarakat.
Bahasa-bahasa daerah memang sudah ada sejak suku-suku di Indonesia itu ada dan menjadikannya komunikasi vital yang dipergunakannya antara anggota suku tersebut, sedangkan bahasa nasional kita ada, ketika suku-suku di Indonesia bersatu dan memproklamasikan dirinya menjadi bangsa Indonesia yang utuh, tidak kemungkinan lambat laun yang menjadi bahasa utama kita yaitu bahasa Indonesia mengambilalih bahasa-bahasa yang ada di dalam negeri ini, tetapi jangan dilihat dari segi buruknya, bahasa nasional yang mendesak mundur bahasa daerah, bahasa nasional kita ini merupakan bahasa pemersatu bangsa “satu nusa satu bangsa satu bahasa kita”. Bahasa nasional ini memiliki arti yang begitu dahsyat dalam mempersatukan bangsa dari berbagai suku-suku yang ada di Indonesia, buktinya bisa kita lihat di kehidupan sehari-hari.
Masalahnya adalah bahasa daerah yang di desak mundur oleh bahasa nasional? Bagaimana cara mengatasinya dan menyeimbangkan kedua bahsa tersebut agar menjadi kesatuan yang semakin erat dan menjadi ciri khas bangsa kita? Jawabannya adalah dengan memberi kebebasan setiap individu untuk berbahasa daerahnya ketika nonformal antar sesama daerah tersebut, mengapa nonformal? Karena jika formal yang diwajibkan oleh pemerintah adalah bahasa nasional dan tempat yang paling tepat adalah nonformal (keseharian masyarakat). Lalu berikutnya dengan regulasi pemerintah lewat Kemendiknas yang sekarang sudah ada kurikulumnya untuk mempelajari bahasa daerahnya masing-masing di setiap wilayahnya. Kurikulum ini menjadikan anak-anak sekolah dapat mempelajari bahasa daerahnya dengan seksama dan sesuai dengan kepribadian daerahnya tersebut. Berikutnya sikap yang harus dilakukan oleh bangsa ini adalah memberi arti kepada masyarakat dengan kenyataan bahwa bahasa daerah kita merupakan ciri khas daerahnya masing-masing dan dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari disamping mempergunakan bahasa Indonesia lalu sebagai bangsa yang besar harus menjunjung rasa toleransi dalam berbahasa agar bahasa nasional dan
daerah itu seimbang.
4. Sangat menonjolnya pengaruh budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat kita sebagai negara bangsa yang sangat rentan akan “kecemburuan budaya” terutama bagi etnik yang juga peranannya sangat dalam membangun negeri ini.
Analisi saya mengenai masalah budaya Jawa yang sangat menonjol dalam membangun negeri ini di bandingkan dengan budaya lain yang juga berperan adalah
Budaya Jawa memang sudah kuat di negeri ini dalam membangun bangsa karena ibu kota bangsa ini berada di Jakarta (masih dalam pulau Jawa) dengan kata lain budaya Jawa sangat kental didalamnya. Coba ibu kota negeri ini berada di luar pulau Jawa maka tidak dipungkiri budaya-budaya yang menjadi tanah ibu kota tersebut sangat dominin dalam membangun bangsa ini. Jangan kita andai-andaikan tetapi bagaimana caranya agar semua itu seimbang, tidak ada kata budaya jawa yang dominan atau budaya lainnya. Membahas tentang kenyataan sekarang sudah banyak bibit unggul daerah yang sudah mulai untuk bertindak membangun bangsa, mereka berbondong-bondong ke pusat dan bekerja untuk daerahnya, yang dimaksud adalah sudah ada perwakilan setiap daerah di MPR untuk berfikir membangun bangsa secara bersama-sama, kenyataan ini belum terjadi saat masa presiden Soeharto, namun setelah reformasi secara besar-besaran dan hak-hak daerah diberi kewenangan luas (otonomi daerah) membuat setiap daerah berkembang sesuai kemampuannya dalam membangun bangsa ini.
Sikap kita sebagai bangsa untuk menyikapi masalah diatas adalah dengan memberi peluang bagi budaya lain (orang luar di P. jawa) untuk membangun bangsa ini, maksudnya adalah budaya luar tersebut sangat diperbolehkan membangun bangsa ini dengan cara budaya luar tersebut di pakai dalam berbagai acara bangsa, contohnya : budaya bali yang sudah mendunia dapat dijadikan ciri khas di mata dunia untuk dijadikan warisan budaya bangsa Indonesia, wakatobi perairan yang di kenal sebagai taman diving terkenal dunia dapat dijadikan tempat untuk berwisata selam dan penyelamatan terumbu karang dunia juga sebagai ekosistem yang ditempatkan untuk warisan masa depan. Semua itu tidak terlepas dari tangan budaya daerah setempat tersebut, karena jika tidak ada norma budaya yang mengatur hal itu maka kemungkinan akan terjadi kerusakan dan kepunahan budaya yang mengakibatkan bangsa ini menjadi miskin budaya dan akibatnya terhadap bangsa adalah stagnya bahkan mundurnya dalam membangun bangsa ini. Sikap yang paling tepat diambil pemerintah adalah kebijakannya yang dibuat harus sesuai denagn demokrasi secara nasional, artinya setiap kebijakan membangun bangsa harus sangat memperhatikan budaya-budaya daerahnya masing-masing serta dari itu dapat dijadikan pemersatu antar budaya jawa yang masih dominan dengan budaya daerah lainnya untuk saling bersinergi dalam membangun bangsa ini.
5. Sikap persimpangan jalan dari generasi muda diantara pengagungan akan tradisi lama dengan fenomena yang sedang mereka hadapi.
Analisis masalah ini lebih mengarah ke generasi muda yang sudah mulai meninggalkan tradisi lama dengan mengalih ke tradisi modern.
Generasi muda memang mempunyai cara sendiri dalam menilai budaya tetapi yang dipermasalahkan dalam masalah tersebut adalah sikap yang meninggalkan tradisi lama dan menuju ke tradisi baru. Tradisi baru atau modern mencakup seluruh bagian kehidupan, bagian tersebut dimulai dari bahasa, tingkah laku, adat istiadat, pengetahuan dan lain sebagainya yang telah mengubah keadaan semakin maju dan modern. Keadaan ini memang sangat dibutuhkan bangsa untuk bersaing terhadap arus globalisasi yang semakin meningkat, namun di balik itu semua tradisi lama kita semakin memudar dalam kesehariannya misal permainan tradisi digantikan dengan permainan teknologi, contohnya permainan sepak bola di lapangan terbuka berubah menjadi permainan fotsal di lapangan penyewaan, permainan petak umpat digantikan dengan permainan PS. Itu semua terjadi karena globalisasi yang semakin menguat dan geografis yang semakin sempit. Dengan kata lain tempat untuk melakukan tradisi lama sudah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan modern (mal).
Realita diatas tidak terjadi pada masyarakat pedesaan yang walaupun kenyataannya juga sudah hampir memudar tetapi rasa peduli terhadap tradisi lama masih dijunjung tinggi, seperti adat pertunjukkan wayang yang masih terpelihara di desa-desa, acara bersih-bersih desa dilakukan serentak secara sukarela dan bersama-sama untuk menjadikan desanya bersih.
- Berikut pendapat saya dalam LOMBA MENULIS NASIONAL UNTUK REMAJA 2010 dengan tema: Realita Budaya di Mata Anak dan judul : Pengaruh Globalisasi Terhadap Budaya Anak Bangsa. Pendapat ini mendukung dari analisa masalah kelima tersebut.
Kita tahu cita-cita harus ditempuh setinggi langit akan tetapi jangan sampai angan-angan kita itu terputus oleh perubahan budaya yang semakin modern ini. Di era globalisasi ini sudah banyak budaya leluhur kita yang hampir hilang dimakan zaman sebagai contoh kecil mengenai permainan yang identik dengan anak-anak, seperti kita tahu dahulu saat kita masih kanak-kanak permainan tradisional masih sering kita lakukan bersama tanpa mengenal lelah dan bermain bersama tanpa mengenal perbedaan Suku Ras dan Agama maupun Bangsa. Kita bermain berbaur satu sama lain dan dengan rasa yang amat senang dan bahagia, tetapi di zaman sekarang kita bisa lihat anak-anak di perkotaan permainan tradisional sudah hampir tiada dan digantikan dengan sebuah kecanggihan alat yang kian mengglobal dan dipenuhi dengan fasilitas yang semakin modern serta amat canggih seperti PSP, Play Station, Game Online dan permainan canggih lainnya, banyak orang tua anak yang berpikir jika mereka memainkan permainan tradisional sangat lelah untuk anaknya dan gengsi akan statusnya tapi banyak anak yang masih menginginkan permainan tradisional untuk memainkannya tetapi tidak boleh diijinkan oleh orang tuanya, mungkin pertama takut berbahaya ataupun gengsi akan permainan itu sendiri atau bahkan takut anaknya bergaul dengan anak yang tidak mampu dan sering kali anak yang tidak mampu itu diasumsikan anak jalanan atau anak yang liar, orang tuanya takut anaknya menjadi ikut- ikutan akan segala hal buruk yang mungkin anak itu lakukan. Tetapi memang tugas orang tua mengawasi anaknya baik dari seluruh perilakunya di masyarakat dan dilingkungan keluarganya tetapi anak itu harus secara tidak langsung diberikan kebebasan akan keinginannya untuk bermain, jangan selalu dikekang keinginnanya. Jika terus menerus dikekang malahan nanti akan terjadi pergolakan emosinal si anak tersebut, kita tahu bahwa pada umur kanak-kanak bermain adalah hal yang tepat dan wajib untuk perkembangan si anaknya baik emosional dan pikiran kreatifnya juga sangat bermanfaat untuk saling mengenal antar sesamanya dan menjadikan tempat untuk mengembangkan kecerdasan perilakunya.
Akan tetapi coba kita bayangkan dan perbandingkan dengan di pedesaan, anak-anak desa bermain secara tradisioanal dan masih menjunjung tinggi nilai kegotongroyongan dan kebersamaan. Mereka tidak bermain dengan permainan yang berbau teknologi, mereka hanya bermain dengan permainan yang telah bertradisi turun temurun antar generasi di desanya dan kebanyakan permainan tersebut banyak yang menggunakan dari bahan yang telah ada disekitarnya seperti permainan bola gebok bolanya bisa dari tumpukan sampah daun yang dibuat seperti bola dan diikat dengan kulit pohon lalu alur permainannya juga sederhana. Tetapi bukan dari permainannya yang kelihatan simpel dan sederhana, banyak perilaku yang bisa kita ambil dari permainan tersebut dari nilai- nilai kegotongroyongan dan kebersamaan yang kuat serta adat istiadat dan tradisi yang selalu dijunjung erat. Mereka tidak bosan-bosannya bermain permainan tersebut bahkan selalu dikembangkan dan permainan baru pun muncul.
- Jadi sikap kita sebagai bangsa Indonesia haruslah bijak dengan keadaan sekarang namun haruslah memfilter keadaan modern ini dengan sesuai budaya yang kita miliki. Segala jenis pertunjukkan dan pariwisata budaya dapat mendorong kembali tradisi lama yang menghilang.
Terima Kasih